Resume Putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 937/B/PK/PJK/2017
Oleh: Rizki Zakariya
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT).
Otoritas pajak menyatakan bahwa terdapat objek PPh Pasal 21 yang belum dilaporkan dalam SPT oleh wajib pajak sehingga menyebabkan pajak yang kurang dibayar. Selama proses penyelesaian sengketa berlangsung, wajib pajak tidak pernah memberikan data dan menghadiri undangan yang diminta otoritas pajak. Adapun sikap wajib pajak tersebut menunjukkan adanya itikad tidak baik. Oleh karenanya, otoritas pajak memutuskan untuk melakukan koreksi.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak. Wajib pajak berpendapat bahwa pihaknya telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Menurutnya, biaya-biaya yang dikoreksi otoritas pajak tidak seluruhnya merupakan objek PPh Pasal 21.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, pada tingkat PK, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan PK dari otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau perpajakan.id.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Berdasarkan data dan fakta yang terungkap dalam persidangan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan. Sebab, koreksi yang dilakukan otoritas pajak hanya berdasarkan pada anggapan dan tanpa didukung bukti-bukti yang valid.
Terhadap permohonan banding tersebut, selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 44264/PP/M.III/10/2013 pada 28 Maret 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 Juli 2013.
Pokok sengketanya adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 21 sebesar Rp9.607.814.917 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak Yang Bersengketa
Pemohon PK menyatakan tidak setuju dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan koreksi berdasarkan hasil ekualisasi antara SPT tahunan PPh Pasal 21 tahun pajak 2008 yang bersumber dari sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) dengan SPT PPh badan pada tahun yang sama.
Berdasarkan ekualisasi tersebut, terdapat biaya gaji, upah, bonus, gratifikasi, honorarium, tunjangan hari raya (THR), dan lainnya yang tidak dilaporkan kepada Pemohon PK. Menurut Pemohon PK, terhadap biaya-biaya tersebut seharusnya dikenakan PPh Pasal 21.
Dalam proses pemeriksaan, Pemohon PK tetap mempertahankan koreksi karena wajib pajak tidak memberikan tanggapan setelah diterbitkannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). Dengan tidak adanya tanggapan atas penerbitan SPHP, Pemohon PK menganggap bahwa koreksi yang dilakukannya sudah benar dan telah disetujui oleh Termohon PK.
Pendapat Pemohon PK tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b PMK-199/PMK.03/2007. Adapun ketentuan a quo menyatakan bahwa dalam hal wajib pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir dan tidak menyampaikan tanggapan tertulis, pajak yang terutang dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah diberitahukan kepada wajib pajak.
Lebih lanjut, dalam proses keberatan, Termohon PK juga tidak memberikan data-data pendukung, meskipun Pemohon PK telah mengajukan permintaan data secara tertulis. Selain itu, Termohon PK juga tidak menghadiri panggilan Termohon PK untuk memberikan tanggapan serta keterangan.
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Termohon PK tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan sengketa. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi Pemohon PK. Termohon PK berpendapat bahwa pihaknya telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Menurut Termohon PK, biaya-biaya yang dikoreksi Pemohon PK tidak seluruhnya merupakan objek PPh Pasal 21.
Dalam komponen biaya yang dikoreksi tersebut, terdapat pemberian kenikmatan atau natura kepada karyawan yang tidak dapat dikenakan pajak. Menurut Termohon PK, koreksi PPh Pasal 21 yang dilakukan Pemohon PK tidak sesuai dengan fakta dan ketentuan yang berlaku.
Pertimbangan Majelis Hakim
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp9.607.814.917 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, Mahkamah Agung menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan. Sebab, Pemohon PK melakukan koreksi tanpa mempertimbangkan fakta yang terjadi dan juga peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung tersebut diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 24 Mei 2017.
Tulisan ini telah terbit di DDTCNews.