“The victims of this corrupt behavior are generally, but not always, family members of the perpetrator.”
(Dessan, 2000)
Oleh: Rizki Zakariya
Keluarga memiliki peranan penting dalam mendukung terjadinya korupsi. Hal ini dibuktikan dengan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan KPK tahun 2021, bahwa 32,1% pemenang pengadaan barang dan jasa memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat pengadaan. Kemudian merujuk hasil Indeks Perilaku Antikorupsi dari BPS tahun 2020, di mana 21,45% masyarakat menganggap wajar jika keluarga, suami memperoleh uang tambahan di luar penghasilan yang biasa diterima tanpa perlu menjelaskan dari mana uang itu berasal.
Adanya peranan keluarga mendukung terjadinya korupsi, dibuktikan juga dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan keluarga. Berdasarkan data penanganan perkara KPK, terdapat banyak kasus korupsi yang melibatkan keluarga, misalkan, Wali Kota Palembang Romi Herton, yang bersama istrinya, Masyitoh, menyuap Hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk memenangkan perkara sengketa pemilihan kepala daerah di Palembang. Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti, dijebloskan ke penjara karena menyuap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara. Hingga, pada 2017, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari, juga terjaring KPK karena menerima suap dari pengusaha untuk memuluskan proyek jalan di 2 kabupaten di Provinsi Bengkulu. Dari kasus-kasus tersebut, diketahui bahwa korupsi kini tidak lagi hanya didominasi oleh pelaku lelaki atau suami, melainkan juga perempuan yang berstatus istri.
Dari kasus korupsi keluarga tersebut juga, menunjukan adanya nilai integritas yang dikesampingkan dalam sebuah keluarga. Jika suami/istri melakukan korupsi, pasangan justru berusaha menutupi, membiarkan, atau bahkan turut membantu kelancaran aksi korupsinya.
Dari sisi teori korupsi, seperti Fraud Triangle Theory, Willingness and Opportunity to Corrupt, dan Cost-Benefit Model Theory, dorongan dilakukannya korupsi salah satunya dari keluarga. Di mana, dari faktor internal, perilaku korupsi terjadi karena keluarga yang mendorong untuk melakukan itu. Kemudian faktor lainnya, yakni rasa ingin memperkaya diri sendiri dan memenuhi gaya hidup mewah, sekalipun dari korupsi.
Pada saat yang sama, keluarga bukan hanya sebagai faktor pendorong, melainkan juga berperan dalam mencegah terjadinya korupsi. Hasil kajian KPK tahun 2017 menekankan bahwa entitas masyarakat yang berperan penting dalam membangun budaya antikorupsi adalah keluarga.
Keluarga mampu menjadi garda utama dalam pencegahan korupsi, terutama istri/ibu. Di mana ibu merupakan figur utama dalam membina keluarga, karena sebagian besar waktu dan pikirannya dicurahkan untuk mendidik anak. Sehingga, dapat dilakukan penanaman nilai karakter antikorupsi pada anak-anaknya seperti nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, nilai tanggung jawab, dan nilai integritas, yang menjadi cikal bakal budaya anti korupsi.
Bukan hanya itu, ibu juga dapat memberi pemahaman kepada anak-anaknya secara sederhana, bahwa korupsi adalah mengambil hak orang lain untuk kepentingan diri sendiri secara tidak sah dan tindakan itu tidaklah baik. Keluarga yang benar-benar melaksanakan fungsi keluarga untuk menanamkan nilai antikorupsi, nantinya akan mampu menciptakan generasi yang memiliki kepatuhan normatif, dan kepatuhan inilah yang mampu untuk menjadikan generasi anti korupsi.
Pada saat yang sama, ibu juga berperan mencegah korupsi yang dilakukan suami. Hal ini dikarenakan secara langsung atau tidak langsung istri mengetahui rencana suami untuk melakukan korupsi. Sehingga, istri akan memberi pertimbangan agar suami tidak melakukan korupsi, atau setidaknya tidak mendukung dilakukannya korupsi itu.
Mengingat pentingnya peran keluarga dalam mencegah terjadinya korupsi, lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, seperti KPK, seharusnya berupaya melibatkan keluarga untuk aktif mencegah korupsi. Terlebih pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja. Oleh karena itu, sebagai implementasi trisula pemberantasan korupsi, khususnya pendidikan dan pencegahan, lembaga pemberantasan korupsi, seperti KPK, harus mencanangkan program terkait pembinaan tentang pentingnya keluarga guna membangun keluarga berintegritas tanpa korupsi.