Oleh: Rizki Zakariya
Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate). Oleh sebab itu, negara menyelenggarakan Pemilihan Umum (disebut Pemilu) untuk mewujudkan hak tersebut. Akan tetapi, dalam pelaksanaan Pemilu, negara menanggung biaya penyelenggaraan yang sangat besar, selain itu, para calon yang hendak menduduki jabatan politik juga menanggung biaya untuk pemenangannya. Hal itu sebagaimana temuan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, yang menyatakan untuk menjadi Bupati di Kabupaten biaya yang dibutuhkan calon supaya menang berkisar antara Rp. 25 Miliar sampai Rp. 30 Miliar.[i] Sedangkan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menyatakan bahwa biaya politik untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah mencapai Rp. 20 Miliar sampai Rp. 100 Miliar.[ii] Besarnya biaya tersebut, menyebabkan calon yang ikut dalam Pemilu mencari berbagai cara untuk peroleh pendanaan politiknya dan bisa menang, tidak terkecuali melalui korupsi.
Praktik Politik Uang di Pemilu Indonesia
Pendanaan calon dalam Pemilu di Indonesia rentan bersumber dari korupsi. Hal itu berangkat dari studi yang menyatakan politik uang dalam pemilu di Indonesia tahun 2019 mencapai 33,1%, lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 14,22%.[iii] Kemudian besaran politik uang yang cenderung tinggi dan berbeda tiap daerah di Indonesia. Di Kalimantan Timur, pemilih akan memasang harga Rp. 500 ribu untuk memilih calon tertentu. Kemudian di Madura, politik uang berada pada kisaran Rp. 50 ribu.[iv] Sedangkan pada daerah lain, disituasi Pandemi Covid-19 bentuk politik uang mulai berubah menjadi sembako (beras, minyak goreng, mie instan, dan sebagainya) dan barang (peci, baju koko, sarung, jilbab, mukena, dan sebagainya).[v] Praktik politik uang tersebut disebut juga jual beli suara. Masih tingginya penerimaan masyarakat terhadap politik uang tersebut menyebabkan biaya politik calon Pemilu juga tinggi, berimbas pada terjadinya korupsi untuk pendanaan itu.
Pendanaan untuk Pemilihan Bupati Kutai Kartanegara oleh Rita Widyasari merupakan salah satu yang berasal dari korupsi. Hal itu terjadi saat dirinya masih menjabat bupati dan butuh sokongan demi mencalonkan kembali menjadi Bupati Kutai periode ke-2. Ia terbukti memperoleh berbagai suap dan gratifikasi mencapai Rp. 110 Miliar dari banyak penguasan.[vi] Sebagai imbalannya, Rita banyak memberikan kemudahan izin konsesi lahan, proyek, pengadaan barang dan jasa pemerintah dan sebagainya ke pengusaha.[vii] Atas perbuatannya tersebut, ia dijerat dengan Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan dijatuhi hukuman pidana penjara 10 tahun dan denda Rp. 600 juta.[viii]
Lemahnya Pengaturan Pencegahan Pendanaan Pemilu dari Korupsi
Undang-Undang No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memiliki kelemahan dalam mencegah pendanaan pemilu dari korupsi. Pertama, rentannya manipulasi pencatatan pemasukan dalam laporan dana kampanye. Pasal 339 ayat (1) UU Pemilu mengatur larangan penerimaan dana kampanye dari pihak asing, swasta maupun badan usaha. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya terdapat manipulasi pencatatan, sehingga tetap peroleh dari sumber tersebut, yakni dengan tidak mencantumkan nama penyumbang, dan merubah identitas penyumbang.[ix] Kedua, terbatasnya waktu audit oleh Kantor Akuntan Publik. Dimana Pasal 335 ayat (5) UU Pemilu membatasi waktu audit KAP hanya 30 hari terhadap seluruh calon di satu wilayah. Kemudian tidak ada pengaturan tindak lanjut hukuman atau pelaporan ke penegak hukum terkait temuan KAP atas sumber dana dari korupsi atau kejahatan, melainkan hanya sanksi apabila tidak melakukan pelaporan dana kampanye di Pasal 338 UU Pemilu. Hal tersebut menunjukan lemahnya pengaturan pencegahan pendanaan Pemilu dari korupsi.
Upaya Penguatan Pencegahan Pendanaan Pemilu dari Hasil Korupsi
Atas permasalahan tersebut, perlu dilakukan penguatan untuk pencegahan pendanaan pemilu dari hasil korupsi. Hal itu setidaknya dilakukan pada 2 hal baik dari lembaga penyelenggara pemilu maupun regulasi. Pertama, lembaga penyelenggara pemilu (KPU) dan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengedukasi masyarakat untuk hindari politik uang. Adanya kesadaran masyarakat tersebut menyebabkan praktik politik uang berangsur menurun, dan mengurangi biaya politik para calon, yang rentan dari hasil korupsi. Kedua, lakukan perubahan UU Pemilu dan perkuat peraturan KPU mengenai mekanisme pelaporan dana kampanye. Sehingga waktu pelaksanaan audit dana kampanye oleh KAP diperpanjang atau jumlah KAP yang melakukan audit ditambah. Selanjutnya diatur mekanisme lanjutan dan sanksi apabila hasil audit KAP ditemukan sumber dana kampanye dari hasil korupsi. Sehingga dengan adanya penguatan pada dua hal tersebut, maka potensi terjadinya korupsi dalam pendanaan pemilu dapat dicegah.
Sumber:
[i] Dian Erika Nugraheny, “Kemendagri: Paslon Bisa Keluarkan Dana Rp 25-30 Miliar Saat Pilkada,” Kompas.com, 3 Desember 2019, diakses 6 Maret 2021, https://bandung.kompas.com/read/2019/12/03/05400011/kemendagri–paslon-bisa-keluarkan-dana-rp-25-30-miliar-saat-pilkada?page=all.
[ii] “KPK Ungkap Biaya Pencalonan Kepala Daerah Rp 20 Miliar-Rp 100 Miliar,” Kompas.com, 23 Juli 2020, diakses 6 Maret 2021,https://nasional.kompas.com/read/2020/07/23/11272001/kpk-ungkap-biaya-pencalonan-kepala-daerah-rp-20-miliar-rp-100-miliar?page=all.
[iii] Burhanuddin Muhtadi, “Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru,” Jurnal Antikorupsi Integritas, Vol. 5, No. 1, (2019): 63.
[iv] Dian Permata dan Daniel Zuchron,_Peta Jalan Pencegahan Politik Uang di Pilkada, (Jakarta: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, 2018), hlm. 39.
[v] Id, hlm. 40.
[vi] Andrian Pratama Taher, “Rita Widyasari Divonis 10 Tahun Penjara, Lebih Ringan dari Tuntutan,” Tirto.id, 6 Juli 2018, diakses 6 Maret 2021, https://tirto.id/rita-widyasari-divonis-10-tahun-penjara-lebih-ringan-dari-tuntutan-cNEt/
[vii] “Rita Widyasari Disebut Terima Gratifikasi Rp 436 M sebagai Balas Jasa,” Kompas.com, 17 Januari 2018, diakses 6 Maret 2021, https://nasional.kompas.com/read/2018/01/17/09002361/rita-widyasari-disebut-terima-gratifikasi-rp-436-m-sebagai-balas-jasa.
[viii] Id.
[ix] Almas Ghalia Putri, Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hlm. hlm. 23-24.