Pada 31 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo menerima estafet Presidensi G20 dari Perdana Menteri Italia Mario Draghi pada akhir KTT G-20 di La Nuvola, Roma. Hal ini menandakan dimulainya Kepemimpinan Indonesia dalam Forum G20 dari 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Organisasi ini beranggotakan negara-negara yang menguasai 80% ekonomi dunia. Berdiri sejak akhir 1990-an, G20 mulanya fokus pada isu keuangan dan makroekonomi. Namun, seiring berjalannya waktu, fokus pembahasan pun meluas. Seperti pada 2018, di Argentina, G20 membahas pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Kemudian G20 2016 di Hangzhou, China, isu perubahan iklim menjadi perhatian utama.
Dengan demikian, tidak bisa G20 hanya fokus pada isu terkait kebijakan makroekonomi saja, melainkan pada berbagai isu global terkini, termasuk adanya Pandemi Covid-19. Hal itu, menjadi tantangan bagi Indonesia yang memegang kendali G20 untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat Pandemi, sekaligus meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat dunia dari risiko tertular Covid-19.
Tantangan tersebut semakin bertambah seiring konflik bersenjata antara Rusia-Ukraina yang mengakibatkan harga komoditas dan bahan pangan melambung, hingga membuat perekonomian dunia mengalami perlambatan dan inflasi yang kian tinggi di setiap negara. Selanjutnya, pemanasan global yang terjadi saat ini telah mengakibatkan kenaikan suhu permukaan bumi 1,1 drajat celcius. Dampak kenaikan suhu tersebut bukan hanya pada aktivitas perekonomian, melainkan juga keselamatan manusia. Oleh sebab itu, melalui Perjanjian Perubahan Iklim di Paris tahun 2015, 195 negara berkomitmen untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi 2% melalui penurunan jumlah karbon hingga 0%. Di mana, dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia akan berusaha untuk menurunkan emisi karbon hingga 2030 sebesar 29%, yang berasal dari sektor kehutanan untuk dikurangi 500 juta ton CO2 serta sektor energi dan transportasi sebanyak 300 juta ton C02 (Bisnis.com, 2021).
Adanya komitmen pengurangan emisi karbon tersebut tentu memberikan dilemma bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya. Pada satu sisi, Indonesia perlu memulihkan kondisi perekonomiannya yang terdampak Pandemi Covid-19, dengan meningkatkan hasil produksi dari berbagai sektor andalannya. Namun, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah karbon, dari berbagai aktivitas produksi tersebut. Terlebih, bauran penggunaan energi terbarukan untuk aktivitas produksi tersebut baru 12,8% per Juni 2022 (Cnbcindonesia.com, 2022). Sehingga Indonesia masih mengandalkan energi dari sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, seperti batu bara, minyak, dan lain sebagainya. Dilema tersebut tidak hanya dirasakan Indonesia, melainkan semua negara berkembang di dunia. Saat negara maju sudah memperoleh manfaat atas aktivitas produksi-industri dengan jumlah karbon yang tinggi, negara berkembang baru sedang berusaha mencapai fase tersebut mengalami pembatasan dengan komitmen perubahan iklim tersebut.
Oleh karenanya, dalam forum G20, salah satu dari tiga pilar utama pembahasan Presidensi Indoensia ialah memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Sehingga dapat terakomodir kepentingan negara berkembang dan negara maju. Hal tersebut dibahas secara mendalam oleh kelompok finance minister and central bank governors (FMCBG) G20.
Pada tulisan ini, hendak diusulkan kepada FMCB 4 rekomendasi untuk mengoptimalkan implementasi kompensasi karbon antar negara untuk mewujudkan ekonomi hijau yang berkelanjutan. Pertama, optimalkan pemajakan industri penghasil karbon di tiap negara. Per Juli 2021, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat 49% emisi CO2 di negara-negara G20 telah tercakup dalam skema carbon pricing, baik melalui pajak karbon atau emission trading system (ETS). Di mana 12 negara yang sudah mengenakan pajak karbon tersebut baru di kawasan Uni Eropa, sedangkan negara dari benua lain belum menerapkannya (DDTC, 2021). Pada sisi lain, tarif pajak karbon di tiap negara juga berbeda-beda, seperti di negara Eropa tarifnya mulai dari $18 per ton C02 sampai $137 per ton C02, sementara di kawasan Asia harganya $2 per ton CO2 hingga $9 per ton C02 (Katadata, 2022). Perbedaan tarif pajak karbon tersebut menyebabkan terjadinya perang tarif antar negara, yang membuat industri berpindah dari negara dengan tarif tinggi ke yang rendah. Dengan demikian, aktivitas yang menghasilkan emisi karbon tersebut akan terus berlangsung, yang berakibat pemanasan global terus terjadi. Oleh sebab itu, melalui FMCBG G20, Indonesia harus mendorong agar negara-negara G20 mulai mengenakan skema pemajakan karbon atas aktivitas industri di negaranya. Selanjutnya, Indonesia juga harus mendorong agar negara menyepakati besaran tarif pajak karbon minimal, untuk menghindari terjadinya kompetisi tarif antar negara, yang membuat upaya pencegahan perubahan iklim tidak berjalan efektif.
Kedua, lakukan perjanjian bilateral terkait kompensasi karbon. Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon). Indonesia merupakan negara yang menyerap karbon dalam jumlah besar, karena luasnya wilayah gambut seluas 7,5 juta hektar, mangrove 3,1 juta hektar, dan hutan seluas 180 juta hetar. Meski demikian, kompensasi atas penyerapan karbon tersebut belum berjalan optimal. Banyak negara penghasil karbon dalam jumlah tinggi, belum membayar biaya komitmen kepada negara penyerap karbon. Padahal biaya tersebut dapat dipergunakan untuk upaya lanjutan pelestarian lingkungan untuk menyerap karbon, yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Oleh sebab itu, dalam forum G20, FMCBG Indonesia harus mendorong agar negara penghasil karbon tinggi melakukan perjanjian bilateral dengan negara penyerap karbon yang mengatur skema kompensasi karbon antar negara secara konkret.
Ketiga, dukungan dan perluasan perdagangan karbon. Untuk mengoptimalkan upaya pencegahan perubahan iklim, kegiatan perdagangan karbon bukan hanya dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh swasta. Sehingga semakin banyak pihak terlibat dalam melakukan pelestarian lingkungan, dan mencegah kenaikan suhu permukaan bumi di atas 2%. Oleh sebab itu, negara-negara G20 harus didorong untuk menyusun kerangka regulasi yang mengatur syarat, mekanisme, dan batasan agar swasta dapat melakukan perdagangan karbon baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Keempat, perkuat audit perdagangan dan implementasi kompensasi karbon. Di samping membuka pasar perdagangan karbon swasta, dan antar negara, penting juga dilakukan agar dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut berjalan efektif dan terhindar dari kecurangan. Oleh karena itu, perlu upaya mitigasi sejak dini melalui tindakan audit perdagangan karbon. Sebab, nilai transaksi kegiatan tersebut tergolong besar, sehingga harus benar-benar dilaksanakan untuk tujuan pemulihan lingkungan agar menyerap sebanyak-banyaknya karbon di dunia. Forum FMCBG G20 harus mendorong lembaga pengawas maupun antikorupsi di tiap negara melaksanakan tugasnya melakukan mitigasi korupsi dan kecurangan dalam perdagangan karbonn.
Empat hal tersebut merupakan upaya yang harus dilakukan oleh FMCBG G20 dengan Presidensi Indonesia saat ini. Di mana, G20 sebelumnya sering dikritik karena kurang tegas dalam membuat kesepakatan dan kurang kuat dalam pelaksanaannya, karena sulitnya membuat kesepakatan di tingkat nasional dan global antar negara. Indonesia harus membuat aksi nyata mencegah perubahan iklim dengan 4 upaya tersebut. Hal ini juga sejalan dengan slogan G20 Indonesia saat ini, yakni Recover Together, Recover Stronger. Tidak bisa negara berusaha dan pulih sendirian, melainkan harus bersama berkolaborasi melaksanakannya.