Meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan terciptanya model pelestarian hutan yang efektif, merupakan tujuan dilaksanakannya perhutanan sosial di Indonesia. Kebijakaan yang mulai diterapkan berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini baru berjalan efektif pada 2007. Selama 2007 sampai 2014, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah diberikan 3.246 Surat Keputusan (SK) hak perhutanan sosial bagi 105.097 Kartu Keluarga (KK) dengan total luas mencapai 455.645 hektar.[1]
Selanjutnya, program tersebut terus dilanjutkan hingga hari ini, terutama pasca pengesahan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja. Adapun capain luas wilayah hutan yang ditetapkan sebagai kawasan perhutanan sosial pada 2015 mencapai 98.558 hektar, 2016 mencapai 151.917 hektar, 2017 mencapai 518.604 hektar, dan 2019 mencapai 107.044 hektar.[2] Secara total, sampai Mei 2023, total akses rakyat terhadap kehutanan sosial mencapai 5,3 juta hektar. Jumlah tersebut masih jauh dari target pemberian hak perhutanan sosial yang mencapai 12,7 hektar hingga 2030.
Oleh sebab itu, untuk mempercepat laju pemberian hak perhutanan sosial dan tata kelolanya, maka Presiden menerbitkan Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Melalui beleid tersebut diatur bukan hanya percepatan distribusi akses legal, melainkan juga pengembangan usaha perhutanan sosial, dan pendampingan, dengan melibatkan setidaknya pelaku usaha, akademisi, dan organisasi masyarakat.[3]
Dalam rangka percepatan distribusi akses legal perhutanan sosial, ditargetkan telah diberikan persetujuan pengelolaan pergutanan sosial untuk areal seluas 7.38 juta hektar sampai 2030. Adapun strategi yang dijalankan untuk mencapai target tersebut, yakni: memprioritaskan penentuan skala, penanganan konflik kepemilikan lahan di kawasan hutan, dan memperkuat mekanisme serta mempercepat pemberian Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Kemudian dalam rangka percepatan pengembangan usaha perhutanan sosial, ditetapkan jumlah Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) yang memiliki unit usaha dan rencana kelola perhutanan sosial mencapai setidaknya 17.000 sampai tahun 2030. Strategi yang dilakukan yakni memperkuat kapasitas kelembagaan KPS, meningkatkan kapasitas usaha, mempercepat pengembangan usaha tematik, meningkatkan produktivitas di area Perhutanan Sosial, serta mempercepat pembentukan dan pengembangan IAD.
Lalu, dalam mempercepat pendampingan pengelolaan perhutanan sosial, maka diusahakan ada 23.400 pendamping sampai 2030. Percepatan pendampingan tersebut dilakukan melalui strategi, kerja sama lintas sektor, meningkatkan kapasitas pendampingan, dan optimalisasi pelaksanaan pendampingan.
Sekalipun telah ditetapkan target serta strategi yang dijalankan, namun masih ada persoalan penetapan dan pengelolaan perhutanan sosial yang belum terselesaikan dengan penerbitan Perpres 28/2023 tersebut. Hal itu meliputi beberapa hal, diantarnya: Pertama, ketidaan pengaturan optimalisasi mekanisme pembiayaan dan besarannya untuk mencapai terget yang ditentukan. Sepanjang 2015-2017 program perhutanan sosial, tercatat pemerintah menganggarkan biaya untuk penyiapan area rata-rata Rp38,76 miliar per tahun.[4] Padahal menurut perhitungan IBC, untuk mencapai target 12,7 hektar pada 2030, Pemerintah setidaknya perlu mengaggarkan Rp830,58 miliar per tahun untuk program perhutanan sosial. Adapun biaya itu meliputi sejumlah kebutuhan, seperti pendampingan, sosialisasi, fasilitasi, verifikasi usulan penerbitan izin, dan kebutuhan lainnya. Oleh sebab itu, seharusnya Perpres 28/2023 mendorong dilakukan peningkatan anggaran negara/daerah untuk program perhutanan sosial seiring percepatan yang hendak dicapai. Selain itu, beleid juga perlu mendorong peningkatan partisipasi swasta dalam program perhutanan sosial, baik dalam bentuk Corporate Social Responsibility maupun investasi langsung.
Kedua, ketiadaan kewajiban partisipasi substansial berbagai elemen dalam pengusulan/penetapan kawasan perhutanan sosial. Konflik pengelolaan perhutanan sosial di Rembang, Jawa Timur merupakan salah satu kasus karena tidak dilibatkannya semua elemen masyarakat dalam pengusulan/penetapan kawasan perhutanan sosial. Hal ini dikarenakan penetapan perhutanan sosial dalam KHDPK tidak berdasarkan usulan dari kelompok masyarakat tetapi hasil identifikasi dan validasi dari UPT, yang menjadi perwakilan kementerian di daerah. Padahal, idealnya dilibatkan masyarakat dalam proses tersebut.[5]
Ketiga, ketiadaan trobosan baru dalam penetapan kawasan perhutanan sosial di area yang sudah dibebani izin. Kasus di Kabupaten Sikka, NTT merupakan salah satu adanya permasalahan penetapan kawasan perhutanan sosial, karena kawasan hutan berbenturan dengan hutan adat, bahkan masih berlangsung jual-beli tanah dikawasan hutan.[6]
Keempat, mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran pengelolaan perhutanan sosial. Baik dalam Perpres 28/2023 maupun peraturan pelaksana perhutanan sosial, yakni Permen LHK No. 83 Tahun 2016, tidak diatur mengenai mekanisme pengawasan atas risiko pelanggaran pengelolaan perhutanan sosial. Padahal, risiko tersebut ada, seperti pengalihan penguasaan atas hak perhutanan sosial yang telah ditetapkan, penebangan liar, dan sebagainya. Oleh sebab itu, perlu diatur adanya mekanisme pengawasan, pelaporan, hingga penindakan, berupa pencabutan hak perhutanan sosial, jika terbukti melanggar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perhutanan sosial di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan, termasuk pemberian akses legal dan pengembangan usaha perhutanan sosial. Meskipun capaian luas wilayah perhutanan sosial telah bertambah signifikan, namun masih jauh dari target yang ditetapkan hingga tahun 2030. Presiden telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2023 untuk mempercepat pengelolaan perhutanan sosial, yang melibatkan berbagai pihak termasuk pelaku usaha, akademisi, dan organisasi masyarakat. Meskipun ada langkah-langkah yang diambil, masih ada tantangan yang perlu diatasi, seperti masalah pembiayaan, partisipasi masyarakat dalam penetapan kawasan, penanganan area yang sudah memiliki izin, dan mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran pengelolaan perhutanan sosial.
[1] https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/16/perhutanan-sosial-di-tahun-politik?open_from=Search_Result_Page
[2] Idi
[3] Pasal 3 ayat (1) Perpres 28/2023
[4] https://www.hukumonline.com/berita/a/ada-kendala-dalam-pelaksanaan-perhutanan-sosial-lt59cdb7caef033/
[5] https://www.mongabay.co.id/2023/03/26/perhutanan-sosial-berbasis-masyarakat-atau-negara/
[6] https://www.mongabay.co.id/2021/12/02/ini-kendala-dan-tantangan-perhutanan-sosial-di-sikka/