Oleh: Rizki Zakariya, SH
Setelah 59 tahun dibahas, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akhirnya disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 6 Desember 2022. Banyak perdebatan pro dan kontra mewarnai proses pembentukan undang-undang tersebut, dari awal perencanaan, pembahasan, hingga pengesahannya. Baik dari kalangan akademisi, pemerintah, hingga masyarakat sipil.
Sebagai Undang-Undang baru, masyarakat sipil menemukan berbagai permasalahan dalam RKUHP. Dari sisi pembentukan, menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, menganggap bahwa prosesnya dilakukan tidak partisipatif dan transparan. Sementara dari sisi substansi, setidaknya ada 6 ketentuan yang bermasalah, mulai dari penghinaan Presiden, unjuk rasa, tindak pidana korupsi, pencemaran lingkungan, pemidanaan paham yang bertentangan dengan Pancasila, dan pelanggaran HAM berat. Meski terdapat penolakan, DPR dan Pemerintah tetap sepakat untuk mengesahkan beleid tersebut. Sebagai solusi, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mempersilahkan masyarakat melakukan uji materiil ketentuan RKUHP ke Mahkamah Konstitusi, jika merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat adanya RKUHP.
Selain itu, melalui Pasal 624 RKUHP, disebutkan bahwa “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.” Dengan kata lain, KUHP tersebut baru diterapkan secara efektif pada tahun 2025. Anggota DPR beralasan, waktu tiga tahun tersebut akan dipergunakan untuk mengevaluasi persiapan dan pelaksanaan KUHP, mulai dari penyiapan peraturan pelaksana, serta sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat terutama akademisi dan penegak hukum, Hal serupa juga diungkapkan oleh Pemerintah (Menkumham), yang menyebut bahwa selama tiga tahun sebelum KUHP diterapkan, maka Pemerintah dan tim khusus akan melakukan sosialisasi ke banyak pemangku kepentingan, termasuk akademisi, agar bisa memahami KUHP secara baik, baik dari sisi filosofis maupun penerapannya.
Oleh sebab itu, untuk menjamin upaya sosialisasi sekaligus pendidikan serta pelatihan kepada apparat penegak hukum itu bisa berjalan efektif dan lancar, perlu metode yang efektif dan efisien. Metode e-Learning, merupakan pilihan terbaik untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum memahami KUHP secara mendalam.
Pilihan metode tersebut setidaknya didasarkan pada 3 hal. Pertama, biaya. Melalui E-learning, penyelenggara pelatihan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk konsumsi, sewa tempat, maupun hotel bagi peserta. Di mana, anggaran untuk itu sangat besar namun peserta terbatas. Di sisi lain, biaya untuk narasumber juga bisa dihemat, dari biaya transportasi, transit, hingga akomodasi selama kegiatan. Peserta hanya memerlukan biaya untuk kuota dan perangkat internet saja, agar bisa terhubung dalam kegiatan e-Learning.
Kedua, tempat. Jika dalam Diklat konvensional peserta harus berada pada satu lokasi yang sama untuk dapat menerima materi, maka melalui e-Learning peserta bisa berada di mana saja untuk bisa memperoleh materi. Begitupun juga dengan pemateri dalam memberikan materi.
Ketiga, waktu belajar. Melalui Diklat secara e-Learning, sistem akan memungkinkan peserta mengakses pembelajaran kapan saja, malam maupun siang. Sehingga peserta akan menyesuaikan dengan kesibukan dan kenyamanan untuk menerima materi.
Tiga hal tersebut merupakan kelebihan metode pendidikan e-Learning. Meski demikian, diakui ada beberapa kelemahan pendidikan secara e-learning, yakni kurangnya tingkat keseriusan peserta jika Diklat dilakukan secara online dibanding offline. Untuk itu, perlu ada kebijakan maupun metode e-Learning yang mendorong peserta untuk aktif dan terdorong memahami materi secara mendalam.
Kebijakan itu, seperti larangan untuk menskip materi yang disediakan, adanya ujian tiap tahap dengan skor minimal yang tinggi, kewajiban menyalakan kamera, dan diskusi kelompok di grup Whatsapp atau Telegram.
Sebagai langkah konkret implementasi, tentu perlu disusun terlebih dahulu materi yang akan ditampilkan dalam e-Learning tentang KUHP. Setelah itu dibangun website maupun aplikasi yang menjadi wadah e-Learning peserta itu dilakukan. Setelah struktur e-Learning tersebut dibangun, dibentuk kebijakan dari instansi asal penegak hukum, yang mewajibkan penegak hukum di lingkungannya mengikuti semua sesi e-Learning, baik Kejaksaan, Kepolisian, PPNS, hingga pihak terkait lainnya. Lalu sediakan insentif maupun sertifikat bagi peserta yang telah lulus melalui semua tahapan e-Learning secara baik. Dengan cara begitu, maka penulis yakin, penerapan KUHP dalam tiga tahun ke depan dapat berjalan, karena adanya kesepahaman penegak hukum mengenai substansi di dalamnya, baik dari segi teori maupun mekanisme pembuktiannya.