(Studi Kasus Pencurian Satwa Liar Dilindungi di Indonesia)
Oleh: Rizki Zakariya
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Sehingga Indonesia dijuluki “Zamrud Khatulistiwa”, karena terletak dibawah garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia memiliki curah hujan tinggi dan tumbuhan hijau disetiap sudutnya. Keanekaragaman hayati Indonesia itu. Selain itu julukan tersebut diberikan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, setelah Brazil. Sebanyak 5.131.100 keanekaragaman hayati di dunia atau 15,3% nya terdapat di Indonesia. Oleh karena itu perlu perhatian semua pihak untuk memanfaatkan, melindungi, dan menjaga keanekaragaman hayati Indonesia tersebut untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Selain itu keanekaragaman hayati itu memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat. Total 28.000 spesies tumbuhan Indonesia dapat dijadikan sebagai obat berbagai penyakit yang menyerang kesehatan manusia.[i] Kemudian dapat juga untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan manusia Indonesia.
Hal-hal diatas merupakan potensi keanekaragaman hayati Indonesia serta manfaatnya yang diberikan kepada masyarakat Indonesia. Meskipun jumlah keanekaragaman hayati Indonesia itu besar, namun terdapat beberapa jenis tumbuhan atau satwa yang dikategorikan langka dan segera punah. Sehingga perlu peran pemerintah, masyarakat, dan penegak hukum dalam menjaga keberlangsungan kehidupan tumbuhan atau satwa yang akan punah tersebut. Pemerintah telah menentukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dikategorikan langka dan segera punah dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, tentang Jenis Tumbuhan Satwa yang Dilindungi, yang terbit pada tanggal 29 Juni 2018. Dalam peraturan tersebut terdapat 919 tumbuhan dan satwa yang dilindungi oleh undang-undang. Peraturan tersebut juga telah menambahkan jumlah tumbuhan dan satwa yang dilindungi di Indonesia yang sebelumnya ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Adapun penindakan hukum jika terjadinya pelanggaran terhadap tumbuhan dan hewan yang dilindungi tersebut, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (kemudian disebut UU Konservasi SDA dan Ekosistemnya). Sehingga berdasarkan uraian diatas penulis dalam tulisan kali ini akan membatasi pembahasan hanya mengenai penegakan hukum perlindungan satwa yang dilindungi di Indonesia, dan permasalahan dari mekanisme penegakan hukum yang ada saat ini serta rekomendasinya.
Pembahasan
Urgensi Hukum Pidana dalam Upaya Perlindungan Satwa Liar Dilindungi di Indonesia
Menurut Eddy Hieriej dan Sudarto fungsi hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana adalah untuk menjaga ketertiban umum, sedangkan fungsi khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum atau kepentingan khusus yang dimiliki negara atau masyarakat.[ii] Dalam hal perlindungan satwa dengan hukum pidana, maka negara telah melaksanakan fungsi umum hukum pidana berdasarkan kepentingan khusus negara, berdasarkan pendapat ahli tersebut.
Selain itu asas “ultimum remidium” yang menyatakan hukum pidana sebagai mekanisme terakhir dalam penegakan hukum setelah hukum administrasi dan hukum perdata dilalui tidak berlaku dalam konsep perlindungan satwa. Hal itu karena adanya asas “primum remidium” yaitu hukum pidana sebagai mekanisme paling utama dalam penegakan hukum tanpa terlebih dahulu hukum administrasi dan perdata dalam perlindungan satwa. Adapun alasan pengutamaan penegakan hukum pidana dalam perlindungan satwa karena terpenuhinya syarat-syarat primum remidium yang dirumuskan oleh H.G. de Bunt yaitu:
1) Akibat sangat besar;
2) Tersangka atau terdakwa residivis;
3) Kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).[iii]
Terjadinya kejahatan terhadap satwa dilindungi memiliki akibat yang sangat besar. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut kasus kejahatan satwa liar yang dilindungi menjadi salah satu yang terbesar terjadi di Indonesia. Kasus ini berada di bawah kasus kejahatan narkoba dan perdagangan manusia. Bahkan menurut penelusuran PPATK nilai transaksi kejahatan itu diperkirakan lebih dari Rp 13 triliun per tahun dan nilainya terus meningkat. Selain dampak ekonomi, juga punahnya satwa yang dilindungi merupakan akibat dari kejahatan tersebut. Hal itu diungkap oleh organisasi Profauna, yang menyatakan punahnya satwa selain karena rusaknya habitat juga kasus kejahatan terhadap hewan liar yang dilindungi.[iv] Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut menunjukan bahwa kejahatan terhadap satwa dilindungi memiliki akibat yang besar yang juga memenuhi syarat diatas. Kemudian seringkali pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi merupakan residivis dari kasus kejahatan serupa sebelumnya. Kasus perdagangan satwa dilindungi oleh jaringan DR yang akan menjual satwa dilindungi ke Eropa merupakan contohnya, ia merupakan residivis kasus serupa sebelumnya dan telah menjalani hukuman 10 bulan penjara.[v] Hal itu menunjukan pemberian hukuman yang belum memberikan efek jera pelaku dalam melakukan kejahatan itu serta memenuhi syarat primum remedium kedua. Selanjutnya terhadap kejahatan terhadap satwa liar dilindungi memiliki kerugian yang tidak dapat dipulihkan. Punahnya satwa liar yang dilindungi karena kejahatan itu, tidak dapat dipulihkan kondisinya seperti semula. Setidaknya terdapat beberapa satwa-satwa liar Indonesia yang sebelumnya ada, namun saat ini telah punah, seperti Harimau Jawa, Harimau Bali, Tikus Goa Flores, dan sebagainya.[vi] Hal itu menunjukan bahwa dampak kejahatan terhadap satwa liar dilindungi berakibat pada kerugian yang tidak dapat dipulihkan berupa punahnya satwa dan memenuhi syarat ketiga diatas. Berdasarkan uraian tersebut, maka syarat asas primum remedium hukum pidana dalam kejahatan terhadap satwa dilindungi telah terpenuhi, sehingga pidana merupakan mekanisme penegakan hukum yang utama dalam mencegah terjadinya kepunahan satwa liar yang dilindungi.
Secara teori tujuan hukum pidana adalah sebagai pembalasan (absolut) atas suatu perbuatan kejahatan yang dilakukan pelaku tindak pidana. Akan tetapi, teori lain yaitu gabungan pidana merumuskan pidana juga harus memiliki tujuan untuk kemanfaatan sosial (utilitarian). Sehingga pidana harus mampu memberikan kemanfaatan khususnya bagi korban tindak pidana, dalam hal kejahatan terhadap satwa liar dilindungi adalah satwa-satwa tersebut. Adapun bentuk hukuman pidana untuk mencapai kemanfaatan sosial diatas salah satunya adalah denda. Dana denda yang dikenakan kepada pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara untuk pemulihan kondisi satwa korban kejahatan, pembangunan tempat konservasi satwa, sumber daya manusia pemelihara, dan pemeliharaan serta perawatan satwa. Sehingga dana tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi satwa-satwa liar yang dilindungi. Penjatuhan hukuman denda dalam kasus kejahatan terhadap satwa yang dilindungi telah diakomodir dalam Pasal 40 UU Konservasi SDA dan Ekosistemnya, yang merupakan dasar hukum pemidanaan pelaku kejahatan satwa dilindungi saat ini. Adapun besaran hukuman denda yang diatur dalam undang-undang tersebut mulai dari Rp. 50 juta sampai Rp. 200 juta.
Sanksi Denda Tidak Efektif
Akan tetapi, meskipun uang denda tersebut sudah diatur dan dikenakan kepada pelaku kejahatan satwa dilindungi, namun dalam pencairan dana itu untuk tujuan kemanfaatan diatas sulit dilakukan. Hal itu karena uang denda tersebut akan masuk kedalam kas keuangan negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 42 KUHP yang menyatakan bahwa semua pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara, hal itu karena UU Konservasi SDA dan Ekosistemnya tidak mengatur khusus hal itu (lex spesialis), sehingga penggunaan uang denda masih merujuk ke KUHP. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut UU PNBP), yang menyatakan penerimaan berdasarkan putusan pengadilan masuk kedalam kelompok penerimaan negara bukan pajak dan harus dimasukkan ke kas negara. Oleh karena itu, perlu tahapan mekanisme selanjutnya supaya uang tersebut dapat langsung digunakan untuk pemulihan kondisi satwa liar korban kejahatan.[1] Adapun mekanisme itu hanya dapat dilakukan dengan tatacara pencairan dana DIPA APBN, yang diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (kemudian disebut PP 45 tahun 2013). Pencairan itu dapat dikatakan sulit dan membutuhkan proses lama, padahal kondisi satwa liar dilindungi korban kejahatan membutuhkan dana pemulihan yang cepat dan segera untuk meminimalisir dampak buruk yang terjadi. Namun, alasan tersebut tetap dilarang dalam PP 45 Tahun 2013 tersebut, yang disebutkan dalam Pasal 41 ayat (2) yang menyatakan pendapatan Negara yang diterima Kementerian Negara/Lembaga tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.
Rekomendasi Sanksi Denda Tidak Efektif
Hal diatas menunjukan bahwa sanksi denda terhadap pelaku kejahatan satwa liar dilindungi belum efektif dalam memberikan manfaat bagi satwa tersebut. Adapun upaya yang dapat dilakukan supaya sanksi pidana dalam kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi itu dapat berjalan efektif dalam memulihkan kondisi satwa liar korban kejahatan serta perawatan berdasarkan permasalahan tersebut. Pemerintah harus segera membuat mekanisme pengaturan khusus mengenai diperbolehkannya dana yang berasal dari sanksi denda tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar dilindungi supaya bisa langsung dipergunakan untuk membiayai pemulihan kondisi satwa liar dilindungi korban kejahatan tersebut, sehingga tidak perlu lagi melalui mekanisme pengambilan dana dari yang bersumber dari kas APBN, yang prosesnya lama dan rumit. Hal itu karena dalam upaya pemulihan harus dilakukan dengan segera, supaya dampak kejahatan yang ditimbulkan tidak besar yaitu matinya satwa dilindungi yang terancam punah tersebut.
Kesimpulan
Banyaknya jumlah keanekaragaman hayati di Indonesia harus dijaga oleh semua pihak. Sehingga keanekaragaman tersebut dapat dinikmati oleh generasi mendatang dimasa depan. Penegakan hukum pidana merupakan upaya yang dilakukan untuk menjaga kenekaragaman tersebut dengan menghakum pelaku kejahatan terhadap satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Dalam hukum pidana pengenaan denda merupakan bentuk penghukuman kepada pelaku kejahatan itu. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya denda tersebut tidak dapat dirasakan langsung untuk satwa-satwa korban kejahatan terhadap satwa liar dilindungi tersebut. Hal itu denda itu masuk kedalam kas APBN, sehingga dalam pencairan denda itupun harus melalui tahapan pencairan dana APBN, yang tergolong lama dan rumit. Padahal satwa korban kejahatan satwa liar dilindungi tersebut membutuhkan penanganan segera untuk pemulihan dan perawatan kondisinya agar pulih. Oleh karena itu penulis mengusulkan berdasarkan permasalahan itu supaya dalam melakukan pencairan dana tersebut dapat dilakukan tanpa melalui mekanisme pencairan dana APBN sebagaimana saat kondisi ini. Sehingga dengan lebih mudahnya mekanisme pencairan untuk satwa korban kejahatan dapat segera pulih dan mencegah terjadinya satwa mati setelah peristiwa kejahatan itu.
Sumber:
[1] Pasal 42 KUHP: “Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.”
[i] Eka Bahtera, “Terbesar Kedua di Dunia, Keanekaragaman Hayati Indonesia Baru Tergarap,” Unpad.ac.id, diakses 18 Juni 2019, http://news.unpad.ac.id/?p=36173.
[ii] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 34-35.
[iii] Romli Atasasmita, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 192.
[iv] Profauna Indonesia, “Fakta tentang Satwa Liar Indonesia,” Profauna.net, diakses 18 Juni 2019, https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XQhbAogzbIU.
[v] Nicky Aulia Widadio, “Polisi tangkap pedagang satwa liar jaringan internasional,” Aa.com.tr, 5 Maret 2019, diakses 18 Juni 2019, https://www.aa.com.tr/id/nasional/polisi-tangkap-pedagang-satwa-liar-jaringan-internasional/1409292.
[vi] Dwiandika, “6 Binatang Asli Indonesia yang Kini Sudah Punah,” Boombastis.com, diakses 18 Juni 2019, https://www.boombastis.com/binatang-indonesia-punah/75828.