Oleh: Rizki Zakariya
Undang-Undang No 18 tahun 2017 amemiliki tujuan agar agar PMI terlindungi dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Selain itu, undang-undang tersebut lebih menekankan dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pentingnya penguatan perlindungan HAM pekerja migran Indonesia tersebut dilakukan karena jumlah PMI yang terus meningkat setiap tahunnya. Menurut BP2MI, pada tahun 2020 tercatat terdapat 9 juta pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri. Akan tetapi, banyak PMI yang mengalami berbagai tindakan yang melanggar hak-haknya saat bekerja di luar negeri. Hal itu sebagaimana temuan Migrant Care tahun 2013, bahwa terdapat 398.270 jiwa PMI yang mengalami pelanggaran hak, bahkan 1249 orang diantaranya meninggal dunia. Tulisan ini hendak menguraikan perbandingan pengaturan pelindungan hak PMI dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dengan UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Adapun uraiannya perbandingan tersebut sebagai berikut:
Pertama, pemidanaan korporasi. Korporasi dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana, terbatas pada pelanggaran Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 71, dan Pasal 72 UU PPMI. Selain dari pasal itu, maka korporasi tidak dapat dijerat dengan pidana UU PPMI. Salah satu perbuatan korporasi yang tidak dijerat pidana, yakni perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap pelindungan pekerjanya di luar negeri (Pasal 62 UU PPMI). Sehingga perusahaan hanya dikenakan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis; penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau pencabutan izin (Pasal 13 UU PPMI). Padahal sanksi administrative tersebut tidak mengakomodir pemulihan atas pelanggaran hak PMI tersebut. Hal itu seperti Pasal 48 ayat (2) UU PTPPO yang mengatur mekanisme restitusi berupa ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; penderitaan; biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Sehingga korban dapat menuntut pemulihan atas tindak pidana perdagangan yang menimpanya, melalui mekanisme hukum yang tersedia, sekalipun perbuatan perdagangan orang itu dilakukan oleh individu/korporasi.
Kedua, kewenangan lembaga. Pasal 46 UU PPMI mengatur bahwa pelaksanaan kebijakan dalam pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia). Padahal kewenangan tersebut telah diemban oleh Menteri Luar Negeri, yang kewenangan pelindungannya diatur dalam Pasal 19 (b) UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Adanya tumpang tindih kewenangan tersebut dapat diatasi apabila melakukan hal serupa mekanisme yang ada dalam UU PTPPO. Pasal 58 UU PTPPO menyatakan bahwa dalam upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, maka dilakukan pembentukan Satuan Tugas oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang di dalamnya beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Sehingga adanya potensi benturan kepentingan atau tumpang tindih kewenangan dapat diatasi dengan adanya satuan tugas tersebut.
Ketiga, kebutuhan khusus perempuan. Belum adanya pasal khusus UU PPMI yang mengafirmasi kebutuhan khusus perlindungan pekerja migran Indonesia (terutama perempuan) yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Kebutuhan ini penting mengingat mayoritas pekerja migran Indonesia bekerja di sektor ini dan menghadapi situasi kerentanan yang berkepanjangan. Tentu saja hadirnya undang-undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tentu bukan jawaban satu-satunya atas tuntutan kehadiran negara dalam perlindungan pekera migran Indonesia tetapi harus disertai dengan langkah-langkah konkrit mencabut kebijakan-kebijakan lama yang sudah usang dan menyegerakan adanya transisi perubahan tata kelola migrasi tenaga kerja yang berbasis pada tanggungjawab negara atas perlindungan warganya dan penghormatan atas hak asasi manusia serta keadilan dan kesetaraan gender. Kondisi tersebut berbeda dengan UU PTPPO, sekalipun tidak diatur spesifik apa saja pemenuhan kebutuhan khusus perempuan korban tindak pidana perdagangan orang, namun diakomodir dengan adanya mekanisme restitusi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial yang dapat dilakukan oleh negara.
Keempat, pelindungan hak asasi manusia. Komnas HAM menemukan 6 (enam) pelanggaran HAM yang dialami oleh Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Hal itu mulai dari waktu bekerja yang melebihi jam kerja normal; Upah rendah; Pekerjaan yang membahayakan; Tidak diberi kesempatan menjalankan ibadah; Penganiayaan; dan Pelecehan seksual.
Kemudian, Migrant Care juga menyatakan bahwa PMI rentan mengalami pelanggaran HAM, terlebih kurang tindakan tegas Pemerintah atas pelanggaran tersebut. Oleh sebab itu, negara harus hadir dalam melindungi hak-hak PMI, yang secara khusus kewenangan itu ada di lembaga BP2MI. Sehingga lebih responsif tindak lanjut apabila ada pengaduan pelanggaran HAM terhadap PMI di luar negeri, untuk pelindungan hak PMI Indonesia.
Sumber Foto: Pexels.com