“Mengapa penyelenggara negara harus melaporkan harta kekayaannya?”
Oleh: Rizki Zakariya
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat dari sejarah, saat Umar bin Khattab mewajibkan para gubernurnya untuk melaporkan kekayaan mereka pada saat pengangkatan dan akhir masa jabatan mereka. Dengan demikian, dapat diketahui pertambahan kekayaan gubernur, apakah berasal dari sumber yang sah atau tidak sah.
Pada konteks Indonesia, kewajiban pelaporan harta kekayaan sudah dikenal sejak masa Orde Lama. Pada masa ini, terbit Peraturan No. Prt/PEPERPU/013/1958, yang mengatur keberadaan Badan Koordinasi Penilik Harta Benda dalam tugas menilik/memeriksa harta benda setiap orang dan setiap badan terindikasi korupsi.
Kemudian, pada masa Orde Baru, terbit Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1970. Dalam beleid ini, pejabat negara level tertentu wajib menyusun Daftar Kekayaan Pribadi (DKP) kepada atasannya masing-masing.
Memasuki masa reformasi, kewajiban pelaporan harta kekayaan oleh pejabat negara diperkuat dengan keberadaan Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/1999).
Awalnya, pelaporan harta kekayaan tersebut disampaikan kepada Komisi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun, sejak disahkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019 (UU 19/2019), penerimaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) menjadi bagian dari tugas pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), LHKPN merupakan media untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan lembaga publik, serta mendukung tercapainya tujuan pemberantasan korupsi yang efektif. LHKPN juga merupakan instrumen pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Sebagai instrumen pencegahan, LHKPN yang berasal dari proses pelaporan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, diharapkan pihak yang bersangkutan merasa diawasi untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pada sisi lain, adanya pelaporan harta kekayaan juga menjadi instrument pendeteksi apakah kekayaannya berasal dari sumber yang tidak sah atau konflik kepentingan untuk selanjutnya dilakukan proses penegakan hukum lebih lanjut.
Secara khusus, dalam rangka pemilihan umum, LHKPN memiliki peranan strategis, karena menjadi syarat untuk dapat maju sebagai kandidat pemilihan, seperti Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Kepala Daerah, atau wakil rakyat yang duduk di Parlemen. Di sisi lain, dari LHKPN kandidat pemilihan, dapat menjadi pertimbangan masyarakat menentukan pilihannya dalam Pemilu.
Pemeriksaan LHKPN
Penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya, baik sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 28/1999.
Pemeriksaan tersebut meliputi serangkaian kegiatan untuk menguji kepatuhan, kelengkapan, keberadaan, dan kesesuaian profil penyelenggara negara dengan LHKPN. Adapun lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan LHKPN, sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 19/2019 ialah KPK.
Dalam melakukan pemeriksaan, KPK melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau atas permintaan pihak tertentu. Pada pemeriksaan yang dilaksanakan atas inisiatif sendiri, KPK mendasarkan pada 4 hal. Pertama, adanya penambahan harta yang lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan bersih yang dilaporkan. Kedua, adanya penambahan atau pelepasan harta yang sumber perolehannya dari hibah/hadiah/warisan dalam jumlah yang signifikan.
Ketiga, adanya jumlah harta kekayaan lebih kecil dibandingkan dengan hutangnya. Keempat, analisis lain yang berkaitan dengan profil jabatan, harta kekayaan, dan penghasilan.
Sementara itu, terkait pemeriksaan yang dilaksanakan atas permintaan pihak tertentu, dilakukan dalam rangka penegakan hukum, pengawasan internal, dan pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam melakukan pemeriksaan, selain mengandalkan LHKPN, KPK juga dapat meminta data/informasi terkait LHKPN kepada beberapa pihak. Pihak yang dimaksud antara lain penyelenggara negara yang bersangkutan; kementerian/lembaga/instansi pemerintah, lembaga negara atau swasta; penyedia jasa keuangan penyedia barang dan jasa lainnya; notaris atau pejabat pembuat akta tanah; dan pihak lainnya. Dengan kewenangan ini, diharapkan LHKPN yang disampaikan dapat diperiksa agar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Apabila ditemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam LHKPN, KPK menindaklanjutinya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, KPK juga dapat berkoordinasi dengan instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka menindaklanjuti temuan itu.
Sementara itu, apabila penyelenggara negara memberikan keterangan yang tidak benar. Maka, terhadap penyelenggara negara yang melakukannya dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, perbuatan tersebut dapat termasuk sebagai tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Sebagai informasi, pada tahun 2020, persentase kepatuhan LHKPN mencapai 96,66%. Angka tersebut lebih tinggi dari 2019 yang mencapai 93% dan 2018 mencapai 85%. Sementara itu, per 22 Februari 2022, persentase kepatuhan LHKPN tahun 2021 baru mencapai 24,90%. Jumlah tersebut tentu akan terus bertambah, seiring batas waktu pelaporan yang masih sampai 31 Maret 2022.
Secara khusus, berdasarkan LHKPN tahun 2020, KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap 401 penyelenggara negara. Dari jumlah tersebut, pemeriksaan atas 192 penyelenggara negara berasal inisiatif sendiri dan 209 dari permintaan pihak tertentu.
Apa tanggapan Anda terhadap penerapan LHKPN? Berikan tanggapanmu dikolom komentar!