Oleh: Rizki Zakariya
Fenomena perdagangan orang (human trafficking) masih marak terjadi di Indonesia saat ini. Sentra HAM UI menyatakan bahwa setiap tahun terdapat 700 ribu sampai dengan 4 juta orang menjadi korban pedagangan manusia (dijual, dibeli, dikirim, dan dipaksa bekerja diluar kemauannya) di seluruh dunia.[i] Sedangkan di Indonesia, menurut UNICEF tahun 2018, terdapat 100.000 perempuan dan anak di Indonesia yang diperdagangkan.[ii]
Maraknya praktik perdagangan orang tersebut karena dianggap sebagai bisnis yang mendatangkan keuntungan yang besar. Bareskrim Polri menyatakan bahwa keuntungan pelaku perdagangan orang berkisar Rp.1 Miliar sampai Rp. 4 Miliar setiap tahunya, yang diperoleh dari pembeli, dan korban sendiri.[iii] Besarnya keuntungan tersebut, memotivasi banyak orang tertarik untuk masuk dalam bisnis tersebut.
Atas kondisi tersebut, maka dilakukan upaya-upaya dalam mencegah praktik tersebut. Hal itu baik dalam tataran normatif, mulai dari aturan hukum yang diciptakan untuk mencegah dan menindak praktik perdagangan orang. Maupun personel, yang memiliki kewenangan dalam menindak pelaku perdagangan orang. Namun demikian, praktik perdagangan orang masih saja berlangsung, bahkan cenderung meningkat setiap tahun, khususnya dengan adanya Pandemi Covid-19.
Urgensi Pemberantasan Perdagangan Orang dan Kejahatan Keuangan Melalui Optimalisasi Regulasi dan Kolaborasi Multisektor
Faktor penyebab maraknya perdagangan orang adalah kondisi kemiskinan. Sehingga masyarakat yang memiliki ekonomi lemah (miskin) berusaha untuk peroleh sumber ekonomi lain, salah satunya dengan bekerja di luar negeri sekalipun illegal, yang rentan mengalami eksploitasi. Salah satu bidang yang sering terjadi perdagangan orang adalah di industri penangkapan ikan. Setiap tahun jumlah kasus perdagangan orang dalam industry perikanan cenderung tinggi, di mana pada tahun 2013 mencapai 5.559 kasus, 2014 mencapai 4.852 kasus, dan 2015 mencapai 1.866 kasus.[iv] Orang-orang Indonesia tersebut kemudian diperdagangkan dalam industry penangkap ikan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Afrika Selatan, Timur Tengah, Oceania, Eropa Tengah dan Timur, dan Amerika Selatan.[v]
Menurut UNODC terdapat 4 (empat) tahapan perdagangan orang di industry penangkapan kapal. Pertama, perekrutan awal (dalam beberapa kasus, penculikan). Kedua, pengangkutan atau pemindahan secara illegal dari negara asal ke negara tujuan. Ketiga, eksploitasi di atas kapal penangkap ikan. Dan keempat, tahap pencucian uang hasil keuntungan.[vi]
Pada tahap perekrutan, untuk menarik minat korban perdagangan orang, maka akan dijanjikan gaji dan fasilitas lain kepada korban apabila berminat bergabung.[vii] Namun, terdapat juga kasus dimana korban harus membayar $2.000 – $4.000 kepada agen penerima kerja apabila hendak bekerja tersebut.[viii] Kemudian proses pemindahan, di mana pengangkutan dari desa ke ibukota menggunakan transportasi darat. Sedangkan menuju pesisir negara tujuan menggunakan transportasi udara, dan selanjutnya diangkut dengan kapal laut. Biaya transportasi tersebut dibebankan kepada para korban, atau potong gaji apabila telah bekerja.[ix]
Selanjutnya apabila telah sampai dilokasi tujuan, para korban akan diarahkan untuk bekerja, sekalipun tanpa kontrak kerja, pemalsuan dokumen, dan eksploitasi. Bentuk eksploitasi pekerja Indonesia di industry penangkapan kapal menurut IMO mulai dari tidak dibayarkan gaji, kualitas hidup yang buruk seperti sanitasi, tidak diberi makanan dan layanan kesehatan dan sebagainya, penyiksaan fisik apabila tidak bekerja maksimal, dan jam kerja mencapai 17-24 jam sehari.[x] Atas berbagai eksploitasi tersebut, industry tangkap ikan memperoleh banyak keuntungan ekonomi. Sehingga berupaya menyembunyikan hasilnya dengan melakukan pencucian uang.
Samakin berkembangnya modus pelaku perdagangan orang dan penyembunyian hasil kejahatannya, menyebabkan kesulitan tersendiri dalam proses pembuktian dan penegakan hukumnya. Terlebih pada kasus perdagangan orang, terdapat pandangan yang berkembang di masyarakat supaya tidak berhubungan dengan polisi karena akan merugikan sendiri. Sehingga segan untuk melaporkan kasus perdagangan orang. Selanjutnya kurangnya kapasitas penegak hukum mengenai penindakan kasus perdagangan orang.[xi]
Upaya Yang Dilakukan dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Dan Kejahatan Keuangan Melalui Optimalisasi Regulasi Dan Kolaborasi Multisektor
Atas kondisi tersebut, maka perlu dilakukan kebijakan yang mengatur komprehensif mengenai pencegahan, penanganan, penanggulangan, dan penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, pendekatan anti pencucian uang (anti-money laundering strategy) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam penegakan hukum perdagangan orang. Dengan pendekatan anti pencucian uang ini, pengungkapan tindak pidana dan pelakunya dilakukan melalui penelusuran transaksi keuangan atau aliran dana (follow the money). Sehingga dapat diketahui mengenai terjadinya kejahatan, menemukan pelakunya, dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan.[xii]
Pendekatan tersebut digunakan berangkat dari pemikiran bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan life-blood of the crime, artinya hasil kejahatan merupakan “darah” yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus merupakan titik terlemah dari mata rantai kejahatan. Di mana kasus perdagangan orang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga meningkatkan motivasi pelaku melakukan perbuatan perdagangan orang. Bareskrim Polri menyatakan bahwa keuntungan pelaku perdagangan orang berkisar Rp.1 Miliar sampai Rp. 4 Miliar setiap tahunnya, yang diperoleh dari pembeli, bahkan korban sendiri.[xiii] Kemudian, tipologi tahap keempat perdagangan orang, khususnya dalam industry penangkapan ikan adalah pencucian uang. Sehingga hasil kejahatan, yang merupakan uang haram (dirty money) diproses menjadi seolah-olah uang bersih (clean money).[xiv]
Upaya pendekatan follow the money tersebut dapat dilakukan dengan optimal melalui peranan Unit Intelijen Keuangan (Financial Intelligence Unit). Di Indonesia, lembaga tersebut yakni Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), yang memiliki fungsi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang melalui collecting/receiving, analyzing, dan disseminating terhadap transaksi-transaksi keuangan di Indonesia.[xv]
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dalam melakukan pendekatan tersebut, Kepolisian selaku lembaga yang berwenang menyidik kasus perdagangan orang, harus bekerjasama dengan PPATK dalam peroleh informasi transaksi keuangan pelaku perdagangan orang. Sehingga dengan kerjasama pengungkapan dan pendekatan tersebut, dapat ditelusuri asset hasil kejahatan dan hubungan para pelaku (intellectual dader), yang hal tersebut sulit ditemukan dalam pendekatan konvensional (follow the suspect).
Kemudian apabila telah diidentifikasi adanya perbuatan pencucian uang atas hasil kejahatan itu, penyidik dapat menjerat pelaku dengan delik TPPU di UU 8/2010. Hal itu berdasarkan Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 mengatur penyidikan TPPU dilakukan oleh tindak pidana asal, termasuk perdagangan orang. Selanjutnya terhadap hasil kejahatan itu dapat dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak, untuk memulihkan hak-hak korban yang terlanggar akibat perdagangan orang.
[i] Harkristuti Harkrisnowo, Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia (Jakarta: Sentra HAM UI,
2003), hlm. 8.
[ii]Alfred R. Januar Nabal, “Telaah Human Trafficking di Indonesia,” Verbivora.com, diakses 14 Desember 2020, http://www.verbivora.com/2018/04/telaah-human-trafficking-di-indonesia.html.
[iii] M. Yamin, “Sindikat Perdagangan Orang Raup Keuntungan Miliaran Rupiah Pertahun,” Sindonews.com, 9 April 2019, diakses 14 Desember 2020, https://nasional.sindonews.com/berita/1394282/13/sindikat-perdagangan-orang-raup-keuntungan-miliaran-rupiah-pertahun.
[iv] Laporan Mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa, dan Kejahatan Perikanan Dalam Industri Perikanan Di Indonesia, (Jakarta: International Organization for Migration, 2016),hlm. 88.
[v] Id, hlm. 86.
[vi] UNODC, Trafficking in Persons: Global Patterns, (Vienna: United Nations Office on Drugs and Crime, 2006), hlm. 57.
[vii] Putusan Nomor 107/Pid.Sus/2015/PN. Tul, hlm. 19
[viii] Supranote 4, hlm. 91.
[ix] Id, hlm. 91-92.
[x] Id, hlm. 97
[xi] Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 137.
[xii] Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 38.
[xiii] Supranote 3.
[xiv] Supranote 6.
[xv] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.