(Studi Putusan No. 288/Pid.Sus/2020/PN.Jkt. Tim.)
Oleh: Rizki Zakariya
Setiap orang berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya negara belum mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak warga Indonesia bekerja di luar negeri (disebut pekerja migran Indonesia/PMI). Data BNP2MI menyebutkan pada 2016 terdapat 234.451 PMI yang ditempatkan di luar negeri (Migrant Care, 2021).[i] Jumlah tersebut meningkat pada 2019 menjadi 276.553PMI (BNP2MI, 2020).[ii] Meningkatnya jumlah PMI tersebut, berimplikasi pada meningkatnya remitansi PMI ke Indonesia. Dimana pada tahun 2018, angka remitansi PMI mencapai Rp. 149 Triliun dan meningkat pada 2019 menjadi Rp. 151 Triliun (BNP2MI, 2020).[iii]
Peningkatan jumlah PMI tersebut menjadi tantangan Pemerintah dalam melakukan pelindungan PMI atas berbagai pelanggaran hak yang rentan dialaminya. Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka memberi efek jera pelaku, melindungi, dan memulihkan PMI yang menjadi korban atas pelanggaran haknya. Akan tetapi, terdapat tumpang tindih dan ketidakpastian peraturan mengenai pemidanaan pengiriman PMI ke luar secara illegal, terutama antara UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dan UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Hal itu seperti yang terjadi pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 288/Pid.Sus/2020/PN. Jkt. Tim dengan Terdakwa Aceng, Agus Wijaya, dan Armansyah Syaputra tanggal 7 Juli 2020. Kasus itu bermula ketika para pelaku yang merupakan karyawan dari PT. Hassindo Karya Niaga dan bergerak pada perekrutan dan penempatan PMI ke luar negeri melakukan kegiatan usahanya. Akan tetapi, dalam jalankan usahanya 48 orang PMI yang akan diberangkatkan perusahaan tidak memiliki dokumen yang ditentukan dalam perundang-undangan. Selain itu, lokasi penempatan PMI di Arab Saudi juga bertentangan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI No.260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah. Selanjutnya lokasi penampungan PMI juga tidak memiliki izin domisili kelurahan dan papan nama perusahaan. Kemudian pada 28 Oktober 2019 lokasi penampungan didatangi oleh Kepolisian, sehingga rencana keberangkatan tersebut batal dilakukan. Atas kasus tersebut penegak hukum menjerat pelaku dengan Pasal 4 Jo. Pasal 48 ayat (1) UU TPPO Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Kemudian atas perbuatannya pelaku dihukum atas percobaan perdagangan orang secara bersama-sama, dan dijatuhi hukuman pidana penjara 8 tahun dan denda Rp. 120 juta subsider 3 bulan kurungan.
Akan tetapi, terdapat permasalahan dalam pendakwaan dan penjatuhan putusan dengan UU TPPO dalam kasus tersebut. Pertama, pendakwaan lebih tepat dengan menggunakan UU PPMI. Hal itu disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dibawah naungan perusahaan perekrutan dan penempatan PMI yang terdaftar secara resmi, yang diatur tugas dan kewajibannya dalam Pasal 52 UU PPMI. Terlebih para Terdakwa yang dihadirkan di sidang adalah karyawan perusahaan (supir, staf keuangan, dan perekrut), yang memiliki keterbatasan kewenangan dalam menentukan tindakan usaha kecuali atas perintah atasan. Oleh sebab itu, pemidanaan seharusnya menyasar perusahaan dengan menggunakan instrument UU PPMI untuk menjerat atasannya juga.
Kedua, tidak terpenuhinya syarat sebagai TPPO. Kejaksaan pada tahun 2019 menentukan 15 indikator suatu kejahatan dikatakan sebagai TPPO, diantaranya: Tidak menerima upah dari pekerjaan yang dilakukannya; Tidak dapat mengelola sendiri upah yang diterima; Adanya jeratan utang; perampasan kebebasan bergerak; Tidak diperbolehkan berhenti bekerja; pembatasan kebebasan untuk mengadakan kontak; tidak diberikannya pelayanan kesehatan, makanan yang memadai; Ancaman pemerasan terhadap keluarga atau anak-anaknya; Ancaman penggunaan kekerasan; Diharuskan bekerja dalam kondisi yang buruk jangka panjang; Tidak membayar sendiri atau mengurus sendiri (perjalanan, visa paspor); Tidak memegang sendiri surat-surat identitas diri; dan menggunakan paspor atau identitas palsu yang disediakan oleh pihak ketiga.[iv] Dari 15 indikator-indikator tersebut dalam pembuktian di persidangan tidak ditemukan pemenuhannya sehingga dapat dijerat dengan UU TPPO. Sehingga patut dipertanyakan mengenai penjeratan TPPO dalam perbuatan tersebut.
Ketiga, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dapat dijerat pidana dengan Pasal 84 ayat (1) dan Pasal 70 UU PPMI mengenai larangan pengiriman PMI tanpa dokumen, Pasal 86 huruf b UU PPMI mengenai larangan penempatan PMI di negara yang dinyatakan tertutup, dan Pasal 71 UU PPMI mengenai penempatan PMI yang tidak sesuai perjanjian. Hal itu menunjukan bahwa instrument UU PPMI telah akomodir pemidaan terhadap pelaku. Terlebih dahalm UU PPMI, korporasi juga dapat dijerat melalui Pasal 87 UU PPMI. Sehingga upaya penegakan hukum dapat memberi efek jera, bukan hanya pelaku melainkan juga korporasi supaya tidak mengulangi lagi pada masa mendatang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka upaya penegakan hukum pengiriman PMI illegal ke luar negeri harus dioptimalkan. Hal itu salah satunya melalui penjeratan hukum pidana yang diatur dalam UU PPMI terhadap pelaku yang melanggar, baik individu maupun korporasi. Sehingga jaminan perlindungan pekerja migran Indonesai dapat terjamin pada masa mendatang dengan optimalnya penegakan hukum tersebut.
[i] Migrant Care, Proyeksi Isu Pekerja Migran Indonesia dalam Analisis Berbasis Data (Jakarta: Migrant Care, 2021), hlm. 2.
[ii] BP2MI, Data Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Tahun 2019 (Jakarta: BNP2MI, 2020), hlm. 6.
[iii] Ibid., hlm. 3.
[iv] Badan Diklat Kejaksaan RI, Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang (Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2019), hlm. 16-17.