Oleh: Rizki Zakariya
Penyadapan merupakan instrumen yang sangat berguna dalam penegakan hukum demi pengugkapan kejahatan yang efektif. Penyadapan dilakukan sebagai respon terhadap berkembangnya berbagai modus kejahatan yang memanfaatkan teknologi komunikasi secara canggih. Sehingga penyadapan berguna bukan hanya pada pengungkapan kejahatan, melainkan juga pencegahan dan pendeteksi kejahatan.
Pada praktik di Indonesia, telah banyak kasus kejahatan yang berhasil diungkap dan sampai di persidangan pengadilan atas hasil penyadapan. Dalam kasus terorisme dan korupsi, yang merupakan kejahatan yang terorganisir dan sistematis, penyadapan sangat diperlukan. Sepanjang tahun 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan 36 kali penyadapan dalam rangka penyelidikan perkara korupsi. Hal itu berimplikasi pada kasus-kasus besar yang berhasil dibongkar oleh KPK, seperti kasus korupsi Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Menteri Sosial Juliari F Batubara, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Prabowo.
Praktik intervensi terhadap komunikasi privasi, berbentuk penyadapan, merupakan tantangan besar terhadap perlindungan data pribadi. Hal itu terutama dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet saat ini. Adapun konsepsi privasi telah berkembang di banyak negara dengan berbagai definisi dan batasannya. William Posser menjelaskan terdapat 4 (empat) bentuk gangguan terhadap provasi seorang, diantaranya:
- Gangguan terhadap tindakan mengasingkan diri atau menyendiri, atau gangguan terhadap relasi pribadi;
- Pengungkapan fakta pribadi yang memalukan secara public;
- Publisitas yang menempatkan seorang secara keliru dihadapan public;
- Penguasaan tanpa izin atas kemiripan seorang untuk keuntungan orang lain.
Lebih jauh, adanya perlindungan data privasi bertujuan untuk melindungi orang dari kemungkinan terluka perasaan atau kepekaan, akibat orang lain menemukan hal yang benar atas idiri seorang, namun memalukan, atau fakta yang sangat pribadi, sebagai konsekuensi perilaku yang ofensif. Sedangkan Mahkamah Agung Amerika menyatakan bahwa perlindungan privasi perlu dilakukan karena 2 (dua) hal, yakni: 1) kepentingan individu dalam menghindari pengungkapan hal pribadi; dan 2) keinginan dan kemerdekaan seseorang dalam membuat beberapa keputusan penting.
Selain tujuan tersebut, perlindungan data privasi juga dilakukan berdasar berbagai instrument hukum internasional dan nasional yang menjaminnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 29-32 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sekalipun telah diatur dan dijamin perlindungan privasi tersebut, hal itu dapat dilanggar apabila demi kepentingan penegakan hukum, yang dikenal dengan surveillance atau penyadapan. Akan tetapi, ketiadaan kesatuan hukum mengenai teknis dan operasional penyadapan, menyebabkan tingginya kerentanan penyalahgunaan wewenang yang tidak berkaitan dengan perkara yang ditangani oleh apparat penegak hukum. Hal itu seperti penyadapan yang dilakukan oleh individu penegak hukum terhadap individu, korporasi, atau lembaga pemerintah yang diduga melakukan kejahatan.
Pada lembaga intelijen, Badan Intelijen Strategis (BAS) dan penegak hukum memiliki kewenangan penyadapan di Indonesia. Perusahaan keamanan Gamma TSE merupakan korporasi yang menyediakan alat untuk penyadapan yang dilengkapi dengan source code serta peralatan pengamanan komunikasi di Indonesia. Adapun system kerja penyadapan tersebut yakni melalui infeksi Trojan, dimana ada pemberitahuan palsu untuk update software, email berbahaya, atau akses fisik ke mesin. Teknologi tersebut tergolong canggih, karena dapat melewati prosedur umum, dan tidak terdeketsi oleh anti-virus. Selanjutnya dengan masuknya Trojan tersebut, maka proses penyadapan dan pengintaian dapat dilakukan oleh penegak hukum, mulai dari mendengarkan pembicaraan, chatting, email, dan bahkan menghidupkan mikrofon computer atau webcam dari jarak jauh. Melalui teknologi ini juga, dapat dilakukan pengambilan file terenkripsi pada hard drive dari jarak jauh.
Besarnya kapasitas negara dalam melakukan penyadapan tersebut perlu diimbangi juga dengan kerangka regulasi perlindungan privasi. Sehingga tidak terjadi penyalahgunaan data, pemindahtanganan tanpa persetujuan, ataupun tindakan lain yang merugikan pemilik data pribadi. Oleh sebab itu, mekanisme kerja penyadapan harus diatur secara ketat. Dimana minimal ada 5 hal mendasar yang diatur dan diperhatikan, yakni:
- Berdasar undang-undang, ada badan resmi yang jelas memberikan izin untuk penyadapan (mencakup penilaian dengan tujuan yang jelas dan obyektif);
- Ada jaminan jangka waktu melakukan waktu penyadapan;
- Pembatasan materi hasil penyadapan;
- Pembatasan orang yang mengakses hasil penyadapan;
- Terdapat mekanisme pengaduan yang efektif bagi warga negara yang merasa kebebasannya telah dilanggar oleh negara.
Melalui adanya pengaturan tersebut, maka diharapkan tindakan penyadapan dapat dikontrol dan dipertanggungjawabkan untuk menghormati dan menjaga hak asasi tiap individu. Penghormatan terhadap HAM tersebut juga tidak menghalangi proses penegakan hukum untuk pengungkapan kejahatan yang berdampak luas bagi segenap masyarakat.
Sumber:
Sustira Dirga dan Supriyadi Widodo Edyyono. Menimbang Ketentuan Penyadapan dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang Terorisme. (Jakarta: Institute for Criminal Justice Refor, 2017).
Finfisher promo videos, dalam https://www.youtube.com/watch?v=qc8i7C659FU
William G. Staples (ed.), Encyclopedia of Privacy, (Westport: Greenwood Press, 2007).
William Prosser, “Privacy: A Legal Analysis”, dalam Ferdinand D. Schoeman (ed.), Philosophical Dimensions of Privacy: An Antology, (Cambridge: Cambridge University Press, 1984).
“Hasil Penyadapan 36 Kasus Penyelidikan Akan Dimusnahkan”. Korantempo.co. 24 Februari 2020. Diakses 25 Maret 2021. https://koran.tempo.co/read/nasional/450420/hasil-penyadapan-36-kasus-penyelidikan-akan-dimusnahkan.
Tulisan ini telah tampil di laman HeyLaw pada 25 Maret 2021.