Oleh: Rizki Zakariya, SH
Sejak awal disahkan, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menuai berbagai penolakan. Hal itu karena pengaturan yang ada dalam UU ITE oleh pegiat hak asasi manusia menimbulkan overkriminalisasi dan rumusan tindak pidana yang terlalu luas (karet). Oleh sebab itu, masyarakat sipil yang terdiri atas berbagai LSM melakukan berbagai upaya untuk mendorong terjadinya revisi UU ITE. Akan tetapi, alih-alih menyelesaikan permasalahan yang disuarakan masyarakat sipil dalam UU ITE lama, pengaturan perubahan yang ada UU ITE baru (UU No. 19 Tahun 2019) tidak mengakomodir itu.
Adapun masalah yang ada dalam UU ITE diantaranya mengenai duplikasi tindak pidana KUHP menjadi overkriinalisasi, perumusan tindak pidana, masalah pemidanaan, dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Pertama, duplikasi tindak pidana KUHP menjadi overkriminalisasi, Apabila dicermati lebih jauh, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari norma hukum Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan untuk dapat dituntut. Kemudian pemidanaan terhadap pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE, konsekuensinya Pasal tersebut juga ditafsirkan sama dengan KUHP. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Pemerintah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas pengaturan yang ada dalam KUHP, karena adanya unsur tambahan yakni adanya perkembangan di bidang elektronik dan siber dengan karakteristik yang sangat khusus disbanding pengaturan sebelumnya di KUHP. Hal itu berimplikasi pada pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bergantung pada konstitusionalitas Pasal 310 dan 311 KUHP. Adanya duplikasi tersebut menimbulkan tumpeng tindih pengaturan, yang berakibat pada ketidakpastian dalam penggunaan pasal tersebut apakah UU ITE atau KUHP yang digunakan. Terlebih pengaturan di Pasal 310 dan 311 KUHP tidak mensyaratkan adanya teknologi tertentu dalam melakukan tindakannya, sehingga dapat juga sebgaai penjeratan serupa Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Kedua, perumusan tindak pidana dalam UU ITE tidak jelas dan tdak ketat (lex stricta dan lex certa). Hal itu terjadi dalam pengaturan pidana di UU ITE, yang juga tidak memperhatikan konsekuensi delik materiil dan formil. Padahal Buku I KUHP masih melakukan pembedaan mengenai kejahatan dan pelanggaran, sedangkan di UU ITE mengatur kualifikasi tindak pidana keseluruhan sebagai kejahatan.
Ketiga, masalah pemidanaan UU ITE. Perlu diketahui bahwa jenis sanksi pidana yang diatur dalam UU ITE adalah pidana penjara dan denda, yang dirumuskan secara tunggal (pidana penjara saja) atau alternatif kumulatif (pidana penjara dan/atau denda). Pemerintah menyatakan bahwa besarnya ancaman hukuman dalam UU ITE adalah wajar, disebabkan distribusi penyebaran informasi melalui media elektronik lebih cepat, luas, dan dampak yang massif. Tingginya ancaman hukuman berimplikasi pada penahanan yang dilakukan terhadap orang yang terjerat UU ITE, dimana ancaman hukuman lebih 6 tahun, memenuhi kriteria penahanan yang memudahkan penyidik, penuntut umum, dan hakim menahannya sebaimana disyaratkan KUHAP. Akan tetapi, sekalipun bergerak cepat untuk menahan, ICJR menemukan bahwa rata-rata tuntutan penuntut umum untuk perkara terkait UU ITE hanya 5,1 bulan tanpa menuntut denda. Kemudian atas tuntutan itu, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 3,7 bulan dan hukuman percobaan 8,4 bulan. Pola tersebut menunjukan bahwa mudahnya seorang dipenjara pada tahap penyidikan atau penuntutan padahal dengan hukuman yang dituntut atau dijatuhkan rendah, menyebabkan banyak terlanggarnya hak-hak kebebasan seorang.
Keempat, masalah ancaman terhadap kebebasan berekspresi. UU ITE merupakan ancaman yang paling menakutkan bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat. Hal itu karena pengaturan pidana yang terlalu luas (karet), justru disertai dengan ancaman penjara dan denda yang tinggi. Hal itu menyebabkan terbungkamnya suara kritis masyarakat kepada pejabat public atau perusahaan penyedia kebutuhan masyarakat, dimana public menghindari memberikan opini atau pandangan kepada pejabat public secara terbuka, karena khawatir dijerat dengan UU ITE.
Atas temuan 5 (lima) permasalahan dalam UU ITE tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan. Pertama, penghapusan Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE. Hal itu karena norma dalam ketiga pasal tersebut adalah duplikasi dari KUHP dengan pasal yang lebih karet, sehingga perlu dikembalikan ke KUHP. Kdua, perlu dilakukan proporsionalitas ancaman hukuman dalam UU ITE. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada bagian ancaman hukuman, di Pasal 45, 45A dan 45 B UU ITE mengikuti ancaman hukuman yang ada di KUHP, atau melakukan penghapusan ketiga pasal tersebut dan mengembalikan pada ancaman hukuman di KUHP. Dengan dilakukannya penghapusan tersebut, maka tingginya angka penahanan yang menyebabkan overcrowding lapas di Indonesia dapat diatasi. Lebih jauh tidak mengekang kebebasan warga negara dengan mudahnya dilakukan penahanan karena ancaman hukuman yang tinggi.
Sumber:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
“Revisi UU ITE Tak Ada di Prolegnas, Simak Lagi Pasal Bermasalah Aturan Ini.” Tempo.co. 10 Maret 2021. Diakses 1 April 2021. https://nasional.tempo.co/read/1440536/revisi-uu-ite-tak-ada-di-prolegnas-simak-lagi-pasal-bermasalah-aturan-ini.
“Pasal Karet UU ITE Sejoli Pembungkam Kritik.” Tempo.co. diakses 1 April 2021. https://interaktif.tempo.co/proyek/pasal-karet-uu-ite-sejoli-pembungkam-kritik/index.php.
Tulisan ini telah muncul di laman HeyLaw pada 1 April 2021.