Oleh: Rizki Zakariya
Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, menyebabkan hilangnya pembatas waktu dan tempat (borderless). Setiap manusia dapat menjalankan komunikasi dan menyebarkan informasi secara bebas kapanpun dan dimanapun. Internet merupakan media yang banyak dimanfaatkan dalam menjelajah (browsing, surfing), mencari berita, mengirim pean, bahkan perdagangan. Pada aspek perdagangan tersebut dikenal dengan electronic commerce, atau disingkat e-commerce. Kemudahan tersebut menunjang mobilitas masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga berdampak pada terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan maju.
Kemajuan teknologi informasi tersebut mendukung ruang gerak transaksi barang/jasa hingga melintasi batas-batas territorial negara. Selain itu, terdapat 4 (empat) keuntungan yang diperoleh dari transaksi melalui e-commerce, diantaranya: penghematan waktu, tidak akan ada penundaan (delay) akibat kendala transportasi, mengurangi kemungkinan kesalahan dalam melakukan pengetikan dan sebagainya karena sudah ada model standar yang tidak perlu diketik ulang, dan waktu bisnis yang lebih efisien. Indonesia merupakan negara dengan potensi e-commerce yang tinggi di dunia. Data PPRO Financial Ltd pada tahun 2018 menyatakan bahwa pertumbuhan perdagangan online di Indonesia mencapai 78% per tahun. Angka tersebut merupakan tertinggi di dunia, dengan rata-rata dunia yang hanya diangka 60%.
Akan tetapi, dibalik berbagai faslitas kemudahannya dan besarnya potensi ekonomi di Indonesia, timbul persoalan kejahatan yang memanfaatkan sarana e-commerce dalam aktivitasnya. Hal itu disebabkan tidak bertemunya antara penjual dan pembeli secara langsung untuk bertransaksi, sehingga ada kemungkinan barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan yang diinginkan, jumlah yang tidak sesuai dengan pesanan, dan bahkan tidak mendapat sama sekali barang/jasa/bayaran yang harus diterima. Kondisi tersebut diperparah dengan kendala penegak hukum dalam mengungkap kejahatan penipuan dalam transaksi elektronik, kendala tersebut diantaranya: terbatasnya personil tenaga ahli di Kepolisian dalam mengungkap kasus tersebut, lemahnya pengawasan Pemerintah dalam mencegah tindakan penipuan, dan kendala procedural hukum dari pengaturan UU ITE. Atas kendala tersebut upaya penegakan hukum penipuan dalam transaksi elektronik tidak dapat berjalan secara maksimal, sehingga menyebabkan banyak kerugian yang dialami oleh konsumen.
Kendala tersebut berdampak pada kasus penipuan dalam e-commerce yang mengalami peningkatan. Dimana Mabes Polri mengungkapkan selama September sampai Desember 2017 kerugian masyarakat akibat penipuan di transaksi online mencapai Rp. 2,2 Miliar. Sedangkan dalam temuan Digital Consumer Insight 2018 menyatakan bahwa 25% orang Indonesia pernah mengalami tindak penipuan melalui beragam e-commerce. Hal tersebut menunjukan tingginya kerentanan penipuan dalam transaksi online di Indonesia. Atas kondisi tersebut penegak hukum melakukan pemidanaan atas perbuatan penipuan yang merugikan orang lain tersebut, yakni menggunakan intrumen Pasal 378 KUHP dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dimana Pasal 378 KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
Kemudian dijerat juga dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kedua rumusan tersebut memiliki objek yang berbeda. Apabila di Pasal 378 KUHP mengenai penipuan, sementara Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Meski demikian, kedua pasal tersebut memiliki kesamaan, yakni dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Dalam rangka pembuktian perkara penipuan dalam transaksi elektronik, memiliki kesulitan tersendiri pembuktiktiannya, karena keterbatasan jenis alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP. Oleh sebab itu, maka dalam membuktikan kesalahan seorang yang melakukan tindak pidana penipuan jual-beli melalui online, maka pasal yang lebih tepat digunakan dalam pembuktian yakni mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE, yang melakukan perluasan alat bukti surat dan petunjuk di Pasal 184 KUHAP. Dimana informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Atas hal tersebut, maka penegak hukum dalam menjerat pelaku penipuan akan lebih tepat menggunakan UU ITE sebagai pelengkap keterbatasan pemidanaan di KUHP dan KUHAP. Selain itu perlu terus dilakukan pengembangan kapasitas apparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana cyber khususnya penipuan dalam transaksi elektronik. Hal itu dengan pemahaman komprehensif penegak hukum terhadap teknis dan dasar teknologi computer. Melalui langkah tersebut, maka diharapkan tindakan penipuan dalam transaksi online dapat diatasi secara optimal pada masa mendatang.
Tulisan ini telah muncul di laman HeyLaw pada 7 Mei 2021.