Oleh: Rizki Zakariya, SH
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dari tahun 1999-2020 memberikan perubahan sistem ketatanegaraan dan demokrasi di Indonesia. Perubahan itu bertujuan agar terciptanya situasi check and balances dalam negara. Check and balances tersebut dikonkretkan dengan adanya lembaga baru pasca amandemen UUD 1945, seperti Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Dewan Perwakilan Daerah RI (selanjutnya disebut DPD) lahir karena spektrum kekuasaan di daerah sangat terbatas sebelum reformasi, sehingga banyak aspirasi daerah tidak tersalurkan. Padahal banyak kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerah yang berbeda-beda di Indonesia (Fahrazi, 2019). Oleh karena itu, adanya DPD dimaksudkan sebagai jembatan aspirasi masyarakat lokal di daerah, untuk disampaikan dan menjadi kebijakan pembangunan nasional. Aspirasi daerah tersebut merupakan hal yang penting, karena luasnya wilayah Indonesia dan kompleksitas masalah yang dihadapi dengan berbagai ancaman disintegrasi (Masnur Marzuki, 2008).
DPD memiliki 2 (dua) fungsi utama, yakni pembentuk undang-undang (Legislasi) dan pengawasan. Kedua fungsi tersebut terbatas pada yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta APBN, pajak, pendidikan dan agama. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, fungsi DPD sangat terbatas, sehingga tidak tercapai tujuan awal pembentukannya tersebut. Keterbatasan itu baik dalam legislasi maupun pengawasan. Sehingga hal tersebut merupakan latar belakang penulisan ini.
Pembahasan
Urgensi Optimalisasi Peran DPD Dalam Bidang Legislasi dan Pengawasan untuk Meningkatkan Prinsip Check and Balances Dalam Negara Demokrasi
Prinsip demokrasi merupakan paradigma yang berkembang dan dianut banyak negara di dunia (Jimly Asshiddiqie, 2005). Adanya batasan kekuasaan negara dan tidak dibenarkan melakukan kesewenang-wenangan, merupakan karakteristik negara demokrasi (Ni’matul Huda, 2010). Oleh karena itu, Montesque membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang trias politica, yakni eksekutif yang melaksanakan undang-undang, legislative membuat undang-undang, dan yudisial untuk menghakimi (Miriam Budiardjo, 2002).
DPD merupakan lembaga legislatif berdasarkan pembagian itu, yang memiliki kedudukan penting bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itu karena DPD merupakan lembaga perwakilan daerah (territorial representation) yang menyalurkan aspirasi masyarakat daerah ke tingkat pusat. Keberadaan DPD merupakan bentuk “double check”, atas keberadaan perwakilan politik (DPR) yang dianggap kurang sempurna. Sehingga mampu mencegah terjadinya monopoli legislasi oleh lembaga parlemen yang merugikan masyarakat, khususnya di daerah (Adventus Toding, 2017).
Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan. Kemudian juga membahas RUU yang berkaitan dengan hal tersebut bersama dengan DPR, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Rumusan kedua ayat tersebut, sekalipun memberikan kewenangan, namun juga membatasi peran DPD dalam pembentukan undang-undang. Hal itu karena DPD sebagai lembaga perwakilan daerah di tingkat pusat, seharusnya dilibatkan sejak pengajuan RUU sampai dengan pengesahan/penetapan RUU, bukan hanya sampai pembahasan. Sehingga DPD dapat menyampaikan aspirasi daerah untuk menjadi kebijakan UU nasional. Pada praktiknya, peran DPD sangat minim dalam pembentukan UU yang berkaitan dengan daerah, seperti dalam pengesahan RUU Mineral dan Batu Bara yang tidak melibatkan DPD (Hasan Basri, 2020). Kemudian dalam pengesahan RUU Cipta Kerja dan PERPPU No. 1 Tahun 2020, yang peran DPD tidak dilibatkan sama sekali, padahal substansi kedua UU tersebut banyak mengatur daerah (Marsi Edon, 2020; Dyah Dwi Astuti, 2020).
Kemudian dalam hal pengawasan, DPD berwenang dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (3) UUD 1945. Pelaksanaan undang-undang tersebut terbatas pada yang berkaitan dengan daerah, sebagaimana pasal tersebut. Kemudian hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR untuk dipertimbangkan dan ditindaklanjuti. Hasil pengawasan yang terlebih dahulu disampaikan kepada DPR tersebut, menyebabkan pengawasan DPD tidak optimal, karena sifatnya hanya sebagai pertimbangan saja. Dimana pertimbangan oleh DPR tersebut boleh dipertimbangkan/boleh tidak, bahkan ditolak sekalipun, tanpa ada kewajiban. Sehingga peran dan fungsi DPD sangat lemah dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Padahal tujuan pembentukan DPD adalah untuk mengoptimalkan penyelenggaraan otomomi daerah, dan mencegah tuntutan separatism (Rosyid Al Atok, 2015). Dengan lemahnya peran DPD sebagai perwakilan daerah dalam mengawasi jalannya otonomi daerah, maka potensi separatism semakin besar terjadi di Indonesia.
Upaya Yang Dilakukan Dalam Optimalisasi Peran DPD Dalam Bidang Legislasi Dan Pengawasan Untuk Meningkatkan Prinsip Check and Balances Dalam Negara Demokrasi
Berdasarkan uraian tersebut, maka diketahui lemahnya peran DPD dalam proses legislasi dan pengawasan. Sehingga perlu dilakukan upaya penguatan peran DPD untuk meningkatkan prinsip check and balances dalam negara demokrasi. Hal itu dilakukan dengan dua cara. Pertama, dalam proses legislasi, perlu dilakukan amandemen UUD 1945 (Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945). Dengan memberikan kewenangan DPD terlibat dalam pembahasan dan pengesahan UU yang berkaitan dengan daerah, sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.
Kemudian kedua, dalam pengawasan, perlu juga dilakukan amandemen terhadap Pasal 22D ayat (3) UUD 1945. Perubahan itu dengan memberikan kewenangan DPD, dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang berkaitan dengan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Kemudian menindaklanjuti sendiri hasil pengawasannya, tanpa perlu terlebih dahulu diajukan sebagai pertimbangan DPR. Dalam menindaklanjuti pengawasan itu, maka DPD perlu diberi hak seperti DPR, yakni hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan, hak angket, dan hak mengajukan pernyataan pendapat. Dengan penguatan kewenangan DPD dalam pengawasan tersebut, maka temuan masalah yang ada di daerah dapat disampaikan ke pusat secara efektif.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan dua hal. Pertama, urgensi optimalisasi peran DPD dalam bidang legislasi dan pengawasan karena beberapa sebab, diantaranya: konsepsi DPD, sebagai lembaga check and balances untuk mencegah monopoli kewenangan legislasi oleh DPR. Selanjutnya penyalur aspirasi masyarakat daerah dalam pembentukan kebijakan, yang rentan terjadi disintegrasi dan separatism apabila tidak disalurkan. Akan tetapi, dalam menjalankan fungsi legislasi, peran DPD tidak optimal, karena keterlibatannya hanya terbatas dipengajuan dan pembahasan tingkat I rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah. Sehingga DPD tidak terlibat lebih jauh dalam bahasan tingkat II dan pengesahan RUU. Hal itu menyebabkan aspirasi DPD banyak tidak tersampaikan dan dipertimbangkan dalam proses lanjutan tersebut. Selanjutnya dalam bidang pengawasan, peran DPD kurang optimal, karena hasil pengawasan hanya diajukan untuk dipertimbangkan kepada DPR, tanpa bisa menindaklanjutinya sendiri.
Kemudian kesimpulan kedua, perlu dilakukan optimalisasi peran DPD dalam bidang legislasi dan pengawasan, diantaranya dengan amandemen Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945, untuk memberikan kewenangan DPD terlibat juga dalam keseluruhan proses pembentukan undang-undang berkaitan dengan daerah, sampai pengesahan. Kemudian amandemen Pasal 22D ayat (3) UUD 1945, dengan memberikan kewenangan DPD untuk menindaklanjuti sendiri hasil pengawasan yang dilakukannya. Selanjutnya pemberian kewenangan DPD dalam melaksanakan tindak lanjut itu, yakni hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan, hak angket, dan hak mengajukan pernyataan pendapat. Dengan pemberian kewenangan tambahan melalui amandemen UUD 1945 maka diharapkan peran DPD dalam legislasi dan pengawasan dapat berjalan secara optimal.